Minggu, 16 April 2017

KAITAN PENDEKATAN PMRI DENGAN TEORI BRUNNER PADA PEMBELAJARAN MATEMATIKA MATERI LUAS DAN KELILING LINGKARAN



 
Disusun:
Lorent Agustina Arissanti
Rani Sembilan Sembilan Silitonga
Dosen Pengampuh:
Hapizah, M. Pd., M. T




PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015/2016

  ABSTRAK

Pokok pembahasan dalam penulisan artikel ini adalah mengenai pendekatan pendidikan matematika realistik Indonesia (PMRI) dan kaitannya dengan teori belajar Bruner pada pembelajaran matematika materi keliling dan luas lingkaran .PMRI adalah salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam penulisan artikel kali ini, penulis juga mengaitkan antara teori-teori belajar, teori-teori psikologi tingkah laku, serta teori psikologi kognitif yang ada (khususnya eori bruner) dengan pendekatan PMRI itu sendiri.Hal ini dimaksudkan, untuk mengetahui bagaimana hubungan antar keduanya, serta untuk menciptakan kebermaknaan belajar pada pelajaran matematika itu sendiri melalui pendekatan PMRI.


Kata kunci: Pendekatan PMRI, teori bruner.

I. PENDAHULUAN

Sejalan dengan tantangan kehidupan global, pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting karena pendidikan merupakan suatu hal penentu kemajuan suatu bangsa, dan suatu penentu kemampuan sumber daya manusia disuatu negara. Dimana pada saat ini, kemajuan suatu bangsa tidak dilihat dari kekayaan sumber daya alamnya  saja tetapi juga dilihat dari kemampuan sumber daya manusianya sendiri, bagaimana memanfaatkan suatu sumber daya alam yang ada dinegaranya. Untuk mampu memanfaatkan sumber daya alam yang ada, tentunya para masyarakat suatu bangsa memerlukan pendidikan akan hal tersebut. 
Pendidikan dilaksanakan dalam bentuk proses belajar mengajar yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sekolah. Belajar itu sendiri merupakan suatu proses usaha yang dilakukan secara sadar dan terus menerus melalui berbagai macam aktivitas dan pengalaman, guna memperoleh pengetahuan baru sehingga menyebabkan perubahan tingkah laku yang lebih baik. Tentu banyak faktor yang mempengaruhi proses belajar, salah satunya adalah motivasi belajar. Semakin tinggi motivasi seseorang untuk belajar, tentu akan semakin tinggi pula kemauan orang tersebut untuk belajar.
Pada saat ini, kebanyakan dari para siswa memiliki motivasi belajar yang rendah, khususnya pada pelajaran matematika. Padahal matematika itu sendiri merupakan subjek yang sangat penting dalam sistem pendidikan didunia. Negara yang mengabaikan pendidikan matematika akan tertinggal dari kemajuan segala bidang, terutama sains dan teknologi. Atas dasar itulah mata pelajaran matematika diberikan sejak SD sampai perguruan tinggi.
Berbicaranya mengenai rendahnya motivasi belajar  para siswa pada pelajaran matematika, tentu banyak pula faktor yang menyebabkan hal tersebut. Kegiatan pembelajaran matematikasaat ini masih dirasa para siswa bersifat sangat abstrak, sehingga mereka merasa kesulitan dalam menerima materi yang disampaikan, serta merasa bosan pada saat kegiatan pembelajaran berlangsung.Hal ini terjadi tentu disebabkan karena masih kurangnya aktivitas  mengaitkan benda-benda real yang ada disekitar pada proses pembelajaran matematika, serta masih kurangnya penggunaan masalah-masalah yang kontekstual pada saaat kegiatan pembelajaran.Sehingga sampai saat ini matematika masih menjadi sosok yang menakutkan bagi para siswa.
Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa belajar matematika siswa pada saat ini belum bermakna sehingga pengertian siswa tentang konsep sangatlah lemah. Kebanyakan siswa mengalamai kesulitan dalam mengaplikasikan metematika kedalam situasi kehidupan nyata. Guru dalam pembelajarannya dikelastidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali dan mengkontruksi sendiri ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran dikelas penting dilakukan agar pembelajaran menjadi bermakna (Zamroni;2000).
Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) atau dikenal dengan RME.Karakteristiknya adalah menggunakan konteks dunia nyata. Pembelajaran matematika realistik memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menemukan kembali dan merekontruksi konsep-konsep matematika, sehingga siswa mempunyai pemahaman yang kuat akan konsep-konsep tersebut.
PMRI juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna dengan mengaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat realistik.Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan situasi dalam dunia nyata (Zulkarnain;2002).
Menciptakan suasana yang menyenangkan pada saat proses belajar mengajar tentu juga menjadi salah satu tugas guru sebagai tenaga pengajar, termasuk guru mata pelajaran matematika. Dengan menciptakan suasana yang demikian pada pelajaran matematika, tentu nantinya matematika tidak lagi akan menjadi sosok yang ditakuti. Tetapi, justru akan menjdi sosok yang disenangi, selain itu juga dengan adanya suasana yang demikian juga akan menciptakan suasana belajar yang lebih bermakana sehingga materi yang diajarkan akan lebih mudah untuk diterima.
Berbicara mengenai kebermaknaan dalam belajar, tentu ada banyak teori-teori belajar yang dapat digunakan para guru sebagai landasan untuk menciptakan hal demikian.Salah satunya teori Bruner, dalam teori ini tugas seorang gurumenciptakan situasi belajar pada siswa, hingga akhirnya siswa dapat menemukan sendiri makna dan kesimpulan pada materi tersebut. Dengan demikian tentu akan dapat memberikan dampak yang positif pada kegiatan pembelajaran, apabila kita mengaitkan anatar pendekatan, model, ataupun metode pelajaran yang kita gunakan dengan teori-teori belajar yang ada. Sehingga nantinya, dengan demikian diharapkan terciptakan suasana belajar seperti yang diinginkan oleh para siswa.Termasuk juga dengan kita mengaitkan anatara pendekatan PMRI dengan teori belajar Bruner, khususnya pada materi bilangan pecahan.
Namun yang menjadi permasalahannya pada saat ini masih kurangnya kegiatan pembelajaran yang seperti demikian.Pada kegiatan pembelajaran matematika saat ini masih kurangnnya peran para guru mengaitkan antara materi pelajaran yang mereka sampaikan dengan konteks dunia nyata.Hal ini tentu menyebabakan kegiatan pembelajaran tersebut menjadi belum bermakna.Melihat permasalahan demikian, penulis tertarik untuk mengakat judul “Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dan Kaitannya dengan Teori Belajar Bruner pada Pembelajaran Matematika MateriBilangan Pecahan”.






II. ISI

2.1.1 Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI)

2.1.1       Sejarah PMRI


Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970-an oleh Hans Freudenthal. Sejarahnya PMRI dimulai dari usaha mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh Prof. RK Sembiring dkk) sudah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1998, pada saat tim memutuskan untuk mengirim sejumlah dosen pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia untuk mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di Belanda.Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir 2001 di delapan sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah.
Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada tahun 2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ (Jakarta), FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP (Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN Jakarta,Patimura Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado. Â Selain itu juga ada Unismuh, Uiversitas Muhamadiyah Purwokerto dan STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000 sekolah.

2.1.2 Definisi PMRI


Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) dikembangkan berdasarkan pemikiran Hans Freudenthal yang berpendapat bahwa matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan dengan realitas (Hadi, 2003).
Berdasarkan pemikiran tersebut, menurut Gravemeijer (dikutip Hadi, 2003) PMRI mempunyai ciri antara lain, bahwa dalam peroses pembelajaran siswa harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali (to reinvent) matematika melalui bimbingan guru, dan menurut Lange (dikutip Hadi, 2003) bahwa penemuan kembali (reinvention) ide dan konsep matematika tersebut harus dimulai dari penjelajahan berbagai situasi dan persoalan “dunia rill”.
Menurut Blum & Niss (dikutip Hadi, 2003) Dunia riil adalah segala sesuatu diluar matematika. Ia bisa berupa mata pelajaran lain selain matematika, atau bidang ilmu yang berbeda dengan matematika, atau pun kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita.Dalam RME, dunia nyata (real world) dapat dimanfaatkan sebagai titik awal pengembangan ide dan konsep matematika. Blum dan Niss (dikutip Kemendiknas, 2010) menyatakan “real world  is the world outside mathematics, such as subject matter other than mathematic, or our daily life and environment” artinya, dunia nyata adalah segala sesuatu diluar matematika seperti pada pelajaran lain selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita. Sementara itu, Lange (dikutip Kemendiknas, 2010) menyatakan : “Real world as a concrete real world which is transferred to students through mathematical application” artinya, dunia nyata sebagai suatu dunia yang kongkret yang disampaikan kepada siswa melalui aplikasi matematika.
Menurut Marpaung (dikutip Hammad, 2009) Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan pendekatan dalam pembelajaran matematika yang sesuai dengan paradigma pendidikan sekarang. PMRI menginginkan adanya perubahan dalam paradigma pembelajaran, yaitu dari paradigma mengajar menjadi paradigma belajar.
Menurut Zulkarnain (dikutip Hammad, 2009) PMRI juga menekankan untuk membawa matematika pada pengajaran bermakna dengan mengkaitkannya dalam kehidupan nyata sehari-hari yang bersifat realistik. Siswa disajikan masalah-masalah kontekstual, yaitu masalah-masalah yang berkaitan dengan situasi realistik. Kata realistik disini dimaksudkan sebagai suatu situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa atau menggambarkan situasi dalam dunia nyata.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa PMRI adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang rill atau pernah dialami oleh siswa, menekankan keterampilan proses,  berdiskusi, dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya dapat menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.3 Prinsip-prinsip PMRI

Sesuai dengan konsep asalnya, menurut Marpaung (dikutip Kemendiknas, 2010) PMRI dikembangkan dari tiga perinsip dasar yang mengawali RME:
a.       Guided Reinvention (menemukan kembali)/progressive Mathematizing (matematesasi progresif), yakni peserta didik diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama sebagaimana konsep-konsep matematika ditemukan. Pembelajaran dimulai dengan suatu masalah kontekstual atau realistik yang selanjutnya melalui aktifitas siswa dikharapkan menemukan “kembali” sifat, defenisi, teorema atau prosedur-prosedur.
b.      Didaktical Phenomenology (fenomena didaktik). Situasi-situasi yang diberikan dalam suatu topik matematika atas dua pertimbangan, yaitu melihat kemungkinan aplikasi dalam pengajaran dan sebagai titik tolak dalam proses matematika.
c.       Self-developed Models (pengembangan model sendiri); kegiatan ini berperan sebagai jembatan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model dibuat siswa sendiri dalam memecahkan masalah. Model pada awalnya adalah suatu model dari situasi yang dikenal (akrab) dengan siswa. Dengan suatu proses generalisasi dan formalisasi, model tersebut akhinrya menjadi suatu model sesuai penalaran matematika.
Prinsif RME menurut Heuvel-Panhuizen dikutip Kemendiknas (2010: 10) adalah sebagai berikut:
a.       Perinsip aktivitas, yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Pembelajar harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran matematika.
b.      Perinsip relitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalah-masalah yang relistik atau dapat dibayangkan oleh siswa.
c.       Perinsip berjenjang, artinya dalam belajar matemtika siswa melewati berbagai jenjang pemahaman,yaitu dari mampu menemukan solusi suatu masalah kontekstual atau relistik secara informal, melalui skematisasi memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.
d.      Perinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan antara materi-materi itu secara lebih baik.
e.       Perinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial. Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya dalam menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu serta menanggapinya.
f.       Perinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberi kesempatan untuk menemukan (reinvention) pengetahuan matematika terbimbing.

2.1.4 Karakteristik PMRI


Karakteristik PMRI merupakan karakteristik yang berasal dari RME.Dalam pelaksanaannya disesuaikan dengan lingkungan dan budaya setempat. Menurut Zulkardi, ada lima karakteristik PMRI (Hamad;2013) yaitu:
a). The use of context (menggunakan masalah kontekstual)
Masalah kontekstual berfungsi untuk memanfaatkan realitas sebagai sumber aplikasi matematika.Selain itu juga untuk melatih kemampuan siswa khususnya dalam menerapkan matematika pada situasi nyata.
b). The use of models (menggunakan berbagai model)
Istilah model berkaitan dengan model matematika yang merupakan jembatan bagi siswa jembatan bagi siswa dari situasi informal ke formal.
c). Student contributions (kontribusi siswa)
Menggunakan kontribusi siswa dimana siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan strategi-strategi informal dalam menyelesaikan masalah yang dapat mengarahkan mereka pada pengkontribusian prosedur pemecahan, dengan bimbingan guru diharapkan siswa bisa menemukan.
d). Interactivity (interaktivitas)
Interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru serta siswa dengan perangkat pembelajaran juga harus ada dalam pembelajaran.Bentuk-bentuk interaksi misalnya diskusi, penjelasan, persetujuan, pertanyaan, dan sebagainya digunakan untuk mencapai bentuk pengetahuan matematika formal dari bentuk-bentuk pengetahuan matematika informal yang ditentukan sendiri oleh siswa.
e). Intertwining (keterkaitan)
Struktur dan konsep matematika saling berkaitan, biasanya pembahasan suatu topik (unit pelajaran) harus dieksplorasi untuk mendukung terjadinya proses pembelajaran yang lebih  bermakna.

2.1.5 Konsepsi PMRI

Beberapa konsepsi PMRI tentang siswa, guru dan tentang pengajaran yang diuraikan berikut ini mempertegas bahwa PMRI sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga ia pantas untuk dikembangkan di Indonesia (Hadi, 2005).
1.      Konsepsi tentang siswa.
         Siswa memiliki seperangkat konsep alternative tentang ide-ide matematika yang memepengaruhi belajar selanjutnya.
         Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri
         Pembentukan pengetahuan merupakan peroses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan
         Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk  dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
         Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematik.
2.      Konsepsi tentang guru
         Guru hanya sebagai fasilitaor belajar
         Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif
         Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada peroses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil.
         Guru tidak terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikilum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia riil, baik fisik maupun sosial.
3.      Konsepsi tentang pengajaran
Menurut Lange (dikutip Hadi, 2005) Pengajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut
         Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) “riiil” bagi siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
         Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.
         Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan/masalah yang diajukan.
         Pengajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternative penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.   

2.1.6 Langkah-langkah Pelaksanaan Pengajaran dengan Pendekatan PMRI

Menurut Hobri (Hadi;2003) terdapat lima langkah dalam melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan PMRI, yaitu:
Langkah (1): Memahami konteks
Pada awal pembelajaran, guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut. Guru hendaknya memilih masalah yang mempunyai cara penyelesaian yang divergen, mempunyai lebih dari satu jawaban yang mungkin, dan juga memberi peluang untuk memunculkan berbagai strategi pemecahan masalah. Diharapkan dalam menyelesaikan permasahan realistik, siswa mengerjakan dengan caranya sendiri sehingga konsep yang diterima siswa akan lebih bermakna.
Langkah (2): Memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah
Pada langkah ini, guru meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan  permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri. Siswa dilatih untuk bernalar dan memilih model yang tepat.
Langkah (3): Menyelesaikan masalah realistik
Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah realistik yang diajukan guru.Siswa diharapkan dapat mengkomunikasikan penyelesaian masalah atau berdiskusi dengan anggota kelompoknya.Pada tahap ini dimungkinkan bagi guru untuk memberikan bantuan seperlunya (scaffolding) kepada siswa yang benar-benar memerlukan bantuan.
Langkah (4): Membandingkan dan mendiskusikan penyelesaian masalah
Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.
Langkah  (5):  Menegosiasikan penyelesaian  masalah
Setelah terjadi diskusi kelas, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan dari materi yang telah dipelajari.
Fase-fase model pembelajaran matematika Realistik mengacu pada Gravemeijer, Sutarto Hadi, dan Treffers yang menunjukan bahwa pengajaran matematika dengan pendekatan realistik meliputi fase-fase berikut (Kemendiknas, 2010)
1.      Fase pendahuluan
Pada fase ini, guru memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” atau “real” bagi siswa yang berarti sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga siswa segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna.
2.      Fase pengembangan.
Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan.
3.      Fase penutup atau penerapan.
Melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran.

2.1.7 Kelebihan dan Kelemahan Pendekatan PMRI

Menurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003) kelebihan pembelajaran matematika realistik antara lain:
a). PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
b). PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
c).PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
d).PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
e) Memadukan kelebihan-kelebihan dari berbagai pendekatan pembelajaran lain yang juga dianggap unggul yaitu antara pendekatan pemecahan masalah, pendekatan konstruktivisme dan pendekatan pembelajaran yang berbasis lingkungan.
Kelemahan pembelajaran realistik menurut Suwarsono (dikutip Hadi, 2003), yaitu :
a). Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”, tetapi sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep konsep matematika. Guru dipandang lebih sebagai pendamping bagi siswa.
b). Pencarian soal soal kontekstual yang memenuhi syarat syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena soal soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam macam cara. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.
c). Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal soal kontekstual, proses pematematikaan horisontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep konsep matematika tertentu.
d) Penilaian dan pembelajaran matematika realistik lebih rumit daripada pembelajaran konvensional
e)   Pemilihan alat peraga harus cermat sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa.

Cara mengatasi  kelemahan pembelajaran matematika realistik dapat dilakukan upaya-upaya antara lain :
a.    Memodifikasi semua siswa untuk dalam kegiatan pembelajaran
b.   Memberikan bimbingan kepada siswa yang memerlukan.
c.    Memberikan waktu yang cukup kepada siswa untuk dapat menemukan dan memahami konsep.
d.   Mengguanakan alat peraga yang sesuai sehingga dapat membantu peroses berfikir siswa maka pembelajran matematika dengan pendekatan realistik dapat meningkatkan kemampuan pemahaman siswa terhadap konsep matematika.

2. Teori Belajar

2.2.1. Biografi J. S. Brunner

Bruner yang memiliki nama lengkap Jerome S. Bruner seorang ahli psikologi dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, telah mempelopori aliran psikologi kognitif yang member dorongan agar pendidikan memberikan perhatian pada pentingnya pengembangan berfikir. Bruner banyak memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, seperti bagaimana cara manusia belajar, atau memperoleh pengetahuan dan menstranformasi pengetahuan. Kemudian, dasar pemikiran teorinya memandang bahwa manusia itu sebagai pemroses, pemikir, dan pencipta informasi. Bruner juga mengatakan bahwa belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya.
Menurut Sri Esti Wuryani Djiwandono, Bruner berpendapat bahwa peranan guru harus menciptakan situasi, dimana siswa dapat belajar sendiri dari pada memberikan suatu paket yang berisi informasi atau pelajaran kepada siswa.
Menurut Wasty Soemanto, bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.
Jadi dapat disimpulkan bahwa discovery learning teori bruner adalah sebuah gagasan dimana guru menciptakan situasi belajar pada siswa, hingga akhirnya siswa dapat menemukan sendiri makna dan kesimpulan pada materi tersebut.

2.2.2. Proses Belajar Mengajar Menurut Bruner

Adapun proses belajar mengajar menurut Brunner sebagai berikut:
1.      Pengalaman optimal untuk memengaruhi siswa belajar


Menurut Brunner praktek belajar mengajar sebaiknya ada beberapa yang diubah supaya praktek belajar mengajar tersebut berfungsi sebagai proses mendapatkan pengetahuan untuk membentuk pola-pola pemikiran manusia. Karena dalam proses belajar mengajar tidak hanya mempelajari bahan-bahan pengajaran, namun juga mempelajari bagaimana cara memperoleh informasi dan memecahkan suatu masalah.
2.      Struktur pengetahuan untuk membentuk pengetahuan yang optimal
Maksudnya, mengerti struktur pengetahuan adalah memahami aspek-aspeknya dalam berbagai hal dengan penuh pengertian. Dan tugas guru adalah memberi siswa pengetahuan dengan berbagai cara sehingga mereka dapat membedakan informasi yang berarti dan tidak berarti.
3.      Spesifikasi mengurutkan penyajian bahkan pelajaran untuk dipelajari siswa
Dalam hal ini guru harus membuat suatu jadwal atau daftar yang akan digunakan saat belajar di kelas. Sehingga, urutan pengajaran di dalam kelas dapat teratur dan tidak berantakan.
4.      Peranan sukses dan gagal serta hakekat ganjaran dan hukum
Dalam suatu pembelajaran hendaknya seorang guru memberikan apresiasi terhadap hasil kerja siswa. Seperti pujian dan hukuman yang dapat diterapkan untuk mengapresiasi hasil kerja anak. Ganjaran dan hukuman yang diberikan harus sesuai dan tidak memberatkan siswa tersebut. Dan dari hukuman tersebut siswa dapat belajar untuk menjadi lebih baik lagi.
5.      Prosedur untuk merangsang berpikir siswa dalam lingkungan sekolah
Berpikir siswa dapat dikembangkan dengan cara memecahkan masalah yang diberikan oleh guru, dengan cara tersebut siswa dapat menemukan sendiri pemecahan masalah tersebut. Dengan tahap-tahap yang sesuai, siswa akan dapat memecahkan masalah tersebut.
Selain itu, di dalam sumber yang lain mengatakan bahwa menurut Bruner dalam proses belajar dibedakan dalam tida fase atau periode, yaitu informasi, transfromasi, dan evaluasi. Dimana informasi ini disini diartikan bahwa dalam ketika kita mempelajari sesuatu kita akan memperoleh sejumlah informasi dan informasi tersebut dapat kita perhalus atau perdalam. Namun, adapula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah kita ketahui sebelumnya. Kemudian, transformasi di sini diartikan setelah kita memperoleh informasi tersebut selanjutnya kita analisis dan diubah atau ditransformasi ke dalam bentuk abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dan terakhir evaluasi yaitu setelah informasi yang kita dapat dianalisis dan diubah ke dalam bentuk abstrak kemudian informasi tersebut baru kita nilai sampai manakah pengetahuan yang kita peroleh tersebut bisa dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain.

2.2.3. Tahap Pembelajaran Menurut Brunner

Adapun tahap pembelajaran menurut Brunner, yaitu sebagai berikut:
1.      Tahap Enaktif (Konkret)
Tahapan ini bersifat manipulative. Karena dalam hal ini, seseorang mengetahui kenyataan  tanpa menggunakan pikiran atau kata-kata dimana dalam proses ini belajarnya menggunakan objek-objek yang dimanipulasi secara langsung.
2.      Tahapan Ikonik
Pada tahap ini, menyatakan bahwa kegiatan anak-anak mulai menyangkut mental yang merupakan gambaran dari objek-objek, dimana seseorang memahami objek-objek melalui gambar-gambar atau visualisasi berbal. Dalam hal ini anak tidak lagi memanipulasi objek secara langsung, melainkan dengan menggunakan gambaran dari objek tersebut.
3.      Tahap Simbolik
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi symbol – symbol secara langsung dan tidak lagi menggunakan obyek – obyek atau gambaran obyek.Pada tahap ini anak memiliki gagasan – gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.


3. Kaitan antara Pendekatan PMRI dengan Teori Belajar pada Pembelajaran Matematika Materi Keliling dan Luas Lingkaran

Sebagaimana dijelaskan bahwa discovery learning teori bruner adalah sebuah gagasan dimana guru menciptakan sendiri situasi belajar pada siswa, hingga akhirnya siswa dapat menemukan sendiri makna dan kesimpulan dari materi tersebut.
Sedangkan pendekatan PMRI adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang rill atau pernah dialami oleh siswa, menekankan keterampilan proses,  berdiskusi, dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya dapat menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian tentu antara teori Bruner dan pendekatan PMRI saling berkaitan. Dengan menerapkan pendekatan PMRI pada pembelajaran matematika tentunya guru akan mampu menciptakan situasi belajar bermakna, sehingga akhirnya siswa dapat menemukan sendiri makna dan kesimpulan dari materi yang disampaikan, sebagaimana yang dijelaskan oleh teori bruner.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa, pendekatan PMRI bertitik tolak pada hal-hal yang bersifat rill, serta masalah yang kontekstual sehingga tentunya akan menciptakan pembelajaran bermakna. Dengan adanya hal-hal yang bersifat rill tersebut tentu akan menciptkan makna yang lebih akan kegiatan pembelajaran bagi para siswa, dari pada kegiatan pembelajaran yang hanya berpusat pada materi tanpa menggunakan hal-hal yang bersifat rill dalam kegiatan pembelajarannya.
Menurut piaget tahap perkembangan kognitif anak terdiri dari empat, yaitu tahap sensorimotor (0 – 2 tahun), tahap pra-operasional (2 – 7 tahun), tahap operasional konkret ( 7 – 11 tahun), dan tahap operasional formal (11 tahun keatas). Sebagaimana dijelaskan, pada tahap pra-operasional yaitu berkisar 2-7 tahun, anak-anak masih sangat perlu menggunakan benda-benda konkret dalam proses kegiatan belajarnya, hal ini dimaksudkan agar anak tersebut lebih mudah memahami materi yang disampaikan. Pada siswa smp, anak telah memasuki tahap operasional kongkret dan operasional formal, pada tahap ini benda-benda kongkret dalam kegiatan pembelajarannya tidak menjadi suatu keharusan, karena  pada tahap ini anak telah mampu berpikir logis dan abstrak. Namun, tentu akan lebih baik lagi, jika bneda-benda kongkret tersebut masih digunakan dalam kegiatan pembelajarannya, hal ini dimaksudkan supaya kegiatan pembelajarannya lebih bermakna sebagaimana dimaksudkan dalam pendekatan PMRI.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, antara pendekatan PMRI dan teori bruner tentulah saling berkaitan.Jika kita selidiki, setiap langkah dari pendekatan PMRI dapat kita golongkan pula sebagai tahapan-tahapan belajar dalam teori benar. Jika kita petakan, kaitan antar keduannya maka akan terlihat seperti bagan dibawah ini.
Gambar1: peta ketrkaitan pendekatan PMRI dan teori bruner.
Langkah pertama dalam pendekatan PMRI, yaitu memahami konteks.Dalam hal ini guru mengajukan masalah realistik kemudian siswa diminta menyelesaikan masalah tersebut.langkah kedua, yaitu memikirkan atau memilih model yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Dalam hal ini, guru akan meminta siswa menjelaskan atau mendeskripsikan permasalahan yang diberikan dengan pemahaman mereka sendiri. Jika kita selidiki langkah pertama dan kedua ini termasuk juga dalam tahapan enaktif menurut teori Bruner.Karena sebgaimana yang kita ketahui pada langkah pertama dan kedua ini, dalam proses pembelajarannya baik siswa ataupun guru masih menggunakan objek serta benda-benda rill secara langsung, sebagaimana hal ini juga dimaksudkan  dalam tahap enaktif teori Bruner.
Langkah ketiga dalam pendekatan PMRI, yaitu menyelesaikan masalah realistik.Pada langkah ini, siswa secara individu atau kelompok menyelesaikan masalah yang diajukan guru. Setelah melewati langkah pertama dan kedua sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tentunya pada langkah ketiga ini siswa diharapkan dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan tidak hanya menggunakan objek atau benda rill  secara langsung, namun diharapkan juga telah mampu mengkolaborasikannya dengan hanya berupa gambaran dari objek lainnya yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah tersebut. Misalnya: dalam menyelesaikan masalah mengenai menemukan rumus luas lingkaran, ketika para siswa diminta untuk menyusun juring-juring yang ada menjadi sebuah bentuk bangun datar, pada tahap ini diharapkan siswa tidak lagi membutuhkan benda lain yang berbentuk bangun datar, namun siswa telah diharapkan telah mempunyai gambaran-gambaran dalam otak  mereka mengenai bagaimana bentuk-bentuk bangun datar yang ada. Selain itu juga, dalam langkah ini tentunya para siswa juga membutuhkan kemampuan berpikir logisnya, sehingga masalah yang dapat ia selesaikan dengan baik. Jika kita, selidiki kembali tahap ketiga ini juga termasuk dalam tahap ikonik menurut teori bruner.Karena sebagaimana yang dijelaskan bruner, dalam hal ini anak tidak memanipulasi objek secara langsung, melainkan dengan menggunakan gambaran dari objek tersebut.Serta termasuk juga kedalam tahap simbolik, khususnya hal ini terlihat ketika kemampuan berpikir logis para siswa dituangkannya.
Langkah selanjutnya pada pendekatan PMRI yaitu, membandingkan dan mendiskusikan masalah. Pada langkah ini, diharapkan siswa mempunyai keberanian untuk menyampaikan pendapat tentang hasil diskusi yang telah dilakukan ke depan kelas. Pada saat presentasi, diharapkan setiap kelompok aktif dalam pembelajaran, baik yang mempresentasikan maupun yang menanggapi hasil diskusi.Selanjutnya, langkah yang terakhir yaitu menegoisasikan penyelesaian masalah. Dalam hal ini guru akan mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan dari materi yang telah dipelajari. Dalam hal ini tentu telah terlihat, bahwa kedua langkah ini juga termasuk tahap simbolik dalam teori bruner.Sebagaimana yang dijelaskan bruner, pada tahap ini anak memiliki gagasan – gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika. Tentunya, dalam langkah ke empat dan kelima ini, khususnya dalam penarikan kesimpulan serta penyampaian gagasan-gagasan abstrak para siswa akan membutuhkan kemampuan berpikir logisnya, sebagaimana hal ini dimaksudkan dalam teori bruner.
Sesuai dengan kurikulum 2013, dikelas VIII pada pelajaran matematika para siswa akan mendapatkan materi mengenai keliling dan luas lingkaran, hal ini tertuang pada KD 3.6.Tentunya semua materi pada pelajaran matematika dapat menggunakan pendekatan PMRI pada pelaksanaan kegiataan pembelajarannya.Terrmasuk juga pada materi memahami keliling dan luas lingkaran.
Implementasi pendekatan PMRI pada pembelajaran matematika mengenai materi memahami keliling lingkaran dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: pertama, pada awal kegiatan pembelajaran guru memberikan contoh benda-benda disekitar yang berbentuk lingkaran, contohnya uang logam, jam dinding (yang berbentuk lingkaran), CD, dll. Sebagaimana yang telah kita ketahui rumus untuk mencari keliling lingkaran itu sendiri adalah , dengan , dimana  adalah perbandingan antara keliling lingkaran dan diameter lingkaran. Pada pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI, pada kegiatan pembelajarannya guru tidak serta merta hanya meberikan rumus tersebut kepada siswa, namun disini guru bertugas mengiring siswa sehingga nantinya mereka dapat menemukan rumus tersebut.Sehingga pada langkah kedua, guru dapat membagi siswa menjadi beberapa kelompok, nantinya dengan pembelajaran secara berkelompok guru akan mengajak siswa untuk membuktikan nilai  tersebut, dan kemudian guru akan mengiring siswa untuk menemukan rumus keliling dari suatu lingkaran. Selanjutnya guru akan mengajak para siswa untuk mendiskusikan hasil kerja kelompok mereka secara bersama-sama, setelah itu guru akan mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan mengenai materi keliling lingkaran.
Pada langkah kedua ini, kita dapat mengajak siswa secara berkelompok untuk meghitung keliling sebuah CD dengan cara menghitung panjang tali yang diperlukan untuk mengeliling tepi CD tersebut sejauh . Lalu, para siswa juga akan diminta untuk menghitung diameter dari CD tersebut dengan menggunakan mistar. Selanjutnya para siswa diminta untuk membandingkan antara keliling CD tersebut dengan diameternya. Tak hanya menggunakan CD, para guru juga menggunakan beberapa benda lain yang berbentuk lingkaran pada kegiatan ini. Ternyata, setelah diselidiki semua hasil perbandingan mendapatakan nilai yang mendekati , dimana nilai tersebut merupakan pendekatan nilai . Dengan demikian para siswa telah dapat menarik pernyataan bahwa  , selanjutnya dengan kemampuan berpikir secara logisnya para siswa akan mampu menarik kesimpulan bahwa ,dengan telah mampunya para siwa menarik kesimpulan tersebut, hal ini berarti bahwa siswa telah mampu menemukan sendiri rumus dari keliling lingkaran.
Sama halnya dengan hal demikian, implementasi pembelajaran matematika materi luas lingkaran dengan menggunakan pendekatan PMRI juga dapat dilakukan dengan langkah berikut: pertama, sama seperti pada pembelajaran materi keliling lingkaran sebelumnya, pada awal kegiatan pembelajaran guru memberikan contoh benda-benda disekitar yang berbentuk lingkaran misalnya: uang logam, jam dinding (yang berbentuk lingkaran), pizza (yang berbentuk lingkaran), CD, dll. Selanjutnya, ada baiknya guru juga menyediakan alat peraga pembelajaran berupa beberapa buah lingkaran yang terbuat dari karton dengan jari-jari tertentu, dan nanatinya guru akan meminta para siswa untuk membagi lingkaran ini menjadi 8 atau 16 juring yang sama besar sehingga terbentuklah 8 atau 16 buah juring lingkaran yang sama besar pula. Dimana nantinya hal tersebut akan digunakan sebagai alat peraga dalam menemukan luas lingkaran. Tentu ada baiknya pula, dalam pelaksanaanya guru tetap menggunakan benda rill, misalnya guru dapat mengajak para siswa mengumpakan lingkaran yang akan kita bagi menjadi beberapa juring tadi layaknya sebuah pizza berbentuk lingkaran yang telah dipotong juga menjadi beberapa bagian yang sama besar sehingga membentuk beberapa juring lingkaran yang sama besar pula.
Langkah ketiga, guru dapat membagi siswa menjadi beberapa kelompok. Nantinya, dengan pembelajaran secara berkelompok guru akan mengajak siswa untuk menemukan rumus luas lingkaran dengan menggunakan juring-juring yang  telah terbentuk dari potongan lingkaran tadi dengan cara meminta siswa untuk menyusun juring tersebut menjadi subuah bentuk bangun datar. Nantinya, dengan bangun datar yang berhasil mereka bentuk tersebut, para siswa akanmampu menemukan rumus luas lingkaran. Sebagai contoh: misalnya para siswa membentu potongan-potongan juring tadi menjadi sebuah bentuk bangun datar jajar genjang, dimana jajar genjang tersebut mempunyai dan . Sehingga dengan kemampuan berpikir logisnya para siswa akan mampu menemukan rumus luas lingkaran tersebut dengan langkah sebagai berikut:

Pada langkah diatas telah terlihat bahwa para siswa telah berhasil menemukan luas lingkaran dengan pendekatan PMRI pada kegiatan pembelajarannya.Selanjutnya guru akan mengajak para siswa untuk mendiskusikan hasil kerja kelompok mereka secara bersama-sama, setelah itu guru juga akan mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan dari materi yang telah mereka pelajari hari ini. 
Jika kita perhatikan, langkah-langkah pembelajaran sebagaimana yang telah dijabarakan diatas tentu telah sesuai dengan pelakasanaan pendekatan PMRI. Setiap karakteristik dalam pendekatan PMRI telah terlihat jelas dalam langkah pembelajaran tersebut, baik itu menggunakan masalah yang kontekstual, menggunakan berbagai model, adanya kontribusi siswa, andanya interaktivitas yaitu interaksi antara siswa dan guru, serta telah terlihat adanya interwining yaitu keterkaitan anatara struktur dan konsep matematika yang ada.
Dalam pendidikan matematika realistik dikenal adanya iceberg yang mendeskripsikan bagaimana proses pemahaman siswa tentang konsep matematika dari hal-hal yang nyata sampai kepada tahap formal, dimana siswa mengerti tentang simbol abstrak matematika. Iceberg ini juga menggambarakan implementasi pendekatan PMRI pada  materi yang diajarkan. Berikut dapat kita lihat iceberg pendekatan PMRI khususnya pada materi keliling dan luas  lingkaran.
Gambar2: iceberg pembelajaran materi keliling lingakaran

Gambar3: iceberg pembelajaran materi luas lingkaran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, antara pendekatan PMRI dan teori bruner memiliki saling berkaitan.Hal ini tentunya juga terlihat pada saat pembelajaran matematika materi luas dan keliling lingkaran.Pada saat pembelajaran matematika baik pada materi keliling maupun luas lingkaran, di awal kegiatan pembelajaran guru memberikan contoh benda-benda rill disekitar yang berbentuk lingkaran, hal ini sebagai implementasi langkah pertama pendekatan PMRI, yaitu mengajukan masalah realistik. Jika kita kaitan dengan teori bruner tentu ini merupakan tahap enaktif pada teori bruner, karena sesuai hakikatnya pada tahap ini dalam proses belajarnya para siswa masih memanipulasi objek secara langsung.
Tahap ikonik pada teori bruner, pada pembelajaran matematika mungkin tidak terlalu terlihat jelas pada saat pembelajaran mengenai keliling lingkaran. Tetapi, hal ini dapat kita lihat secara jelas pada materi luas lingkaran, ketika para siswa diminta untuk menyusun juring-juring lingkaran yang ada menjadi sebuah bentuk bangun datar, dimana pada proses ini para siswa tentunya tidak lagi membutuhkan contoh benda rill yang berbentuk bangun datar yang ada karena sebelumnya tentu para siswa telah mendapatkan materi mengenai bangun datar yang lainnya, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. 
Selanjutnya, tahap simbolik pada pembelajaran ini terlihat ketika para siswa menggunakan kemampuan berpikir logisnya dalam menemukan sendiri keliling dan luas lingkaran, setelah melewati langkah kerja sebelumnya.Tahap ini juga akan terlihat ketika para siswa memberikan gagasan-gagasan abstraknya pada saat mempresentasikan ataupun pada saat terlibat aktif pada diskusi antar kelompok mengenai hasil kerjanya.
Dari uraian diatas, telah terlihat keterkaitan antara pendekatan PMRI pada pembelajaran matematika materi keliling dan luas lingkaran dengan teori bruner.Namun, jika kita perhatikan kembali, pendekatan PMRI pada pembelajaran matematika materi luas dan keliling lingkaran juga berkaitan dengan teori ausubel.Menurut ausubel sendiri belajar itu terbagi menjadi dua yaitu belajar menghapal dan belajar bermakna. Tentunya pada pendekatan PMRI proses belajar yang dituju adalah proses belajar bermakna. Sebagaimana menurut ausubel belajar bermakna itu sendiri terjadi ketika siswa dalam proses belajarnya mengaitkan materi yang telah dipelajari sebelumnya dengan materi yang dipelajari saat ini.
Hal ini tentunya terlihat pada saat siswa mempelajari materi keliling dan luas lingkaran, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.Pada saat mempelajari mengenai keliling dan luas lingkaran tentu para siswa perlu mengaitkan materi sebelumnya mengenai unsur-unsur pada lingkaran. Selin itu juga, pada saat menemukan rumus luas lingkaran para siswa juga perlu mngaitkan materi ini dengan materi bangun datar, khususnya hal ini dibutuhkan ketika para siswa diminta untuk menyusun juring-juring lingkaran yang ada menjadi suatu bentuk bangun datar, serta ketika para siswa mencoba menemukan rumus luas lingkaran dari rumus bangun datar yang telah mereka bentuk dari juring-juring lingkaran yang ada tersebut.



III. PENUTUP

1.  Kesimpulan


PMRI adalah pendekatan pembelajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang rill atau pernah dialami oleh siswa, menekankan keterampilan proses,  berdiskusi, dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas sehingga sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan pada akhirnya dapat menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok dalam kehidupan sehari-hari.
Discovery learning teori bruner adalah sebuah gagasan dimana guru menciptakan situasi belajar pada siswa, hingga akhirnya siswa dapat menemukan sendiri makna dan kesimpulan pada materi tersebut.
Antara pendekatan PMRI dan teori bruner saling berkaiatan, dimana setiap langkah dalam pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan PMRI dapat kita golongan sebagai tahapan belajar menurut teori bruner.Maka dari itu, dapat kita simpulkan bahwa pendekatan PMRI dan teori beruner saling berkaitan, termasuk pada pembelajaran matematika materi keliling dan luas lingkaran.

2.  Saran

Dalam proses belajar mengajar, tentunya setiap siswa mendampakkan sebuah aktivitas belajar yang menyenangkan. Salah satu tipe pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa tentunya adalah ketika kegiatan pembelajaran tersebut mampu memberikan rasa ketertertarikan siswa untuk belajar  serta membuat materi yang disampaikan tersebut mudah dipahami.Khususnya hal ini diperlukan dalam kegiatan pembelajaran matematika, mengingat matematika merupakan salah satau mata pelajaran yang tidak disukai siswa, serta masih rendahnya motivasi belajar para siswa dalam belajar matematika.
Kegiatan pembelajaran matematika yang menyenangkan slah satunya dapat kita wujudkan dengan menggunakan pendekatan PMRI dalam pelaksanaannya.Karena titik tolak dari pendekatan PMRI itu sendiri dengan menggunakan benda-benda rill dalam pelaksanaanya, sehingga hal ini dapat meningkatkan motivasi belajar matematika para siswa.
Melihat masih minimnya hal tersebut, tentu diharapakan para guru matematika saat ini, serta para calon guru matematika dimasa yang akan datang untuk dapat menggunakan pendekatan PMRI dalam kegiatan pembelajarannya. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan, agar para siswa lebih mudah memahami materi yang disampaikan, serta agar pembelajaran yang disampaikan tidak sia-sia.




DAFTAR PUSTAKA
Suyono, & Haryanto. (2012). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Wardhina, E. (2013, 03). Retrieved 10 2016, from www.blogspot.com